Tentang ikhtilat, sebagian penghujat mendakwa: “Tak sedikit yang
mengatasnamakan kegiatan masjid, namun mereka bercampur baur dalam satu
kantor yang sempit tanpa hijab [tabir pemisah]. … Sungguh perilaku yang
melecehkan Islam.” (PIA: 24) Kata pendakwa, “Ikhtilat adalah perilaku
yang jelas-jelas mendekatkan diri pada perzinaan.” (PIA: 19)
Mereka kemukakan argumentasi: “Sangat sulit menghindari kontak fisik
jika bergerombol bercampur-baur dengan lawan jenis. Padahal Rasulullah
saw. mengharamkan bersentuhan kulit antarlawan jenis. Rasulullah saw.
bersabda: ‘Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya
dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang
yang bukan muhrimnya.’ (HR. Tabrani) ‘Tangan Rasulullah saw. tidak
pernah sama sekali menyentuh tangan perempuan di dalam bai’at; bai’at
Rasulullah dengan mereka adalah berupa ucapan.’ (HR. Bukhari) Dengan
demikian bisa dimengerti mengapa Rasulullah saw. melarang ikhtilat atau
campur-baur antarlawan jenis.” (PIA: 42) Tidak kelirukah argumentasi
mereka ini?
Sudahkah mereka menghimpun semua hadis shahih dan hasan mengenai
ikhtilat? (Lihat BMHN: 106.) Kalau sudah menghimpun, sudahkah mereka
berusaha menjamak (mengkompromikan) dalil-dalil yang kelihatannya
bertentangan? Kalau menjamak itu mustahil, sudahkah mereka mentarjih
(mengutamakan dalil yang lebih kuat)? (Lihat MTKDS: 9-73 dan BMHN
118-120.) Tampaknya itu semua belum dilakukan.
Yang terlihat sudah melakukannya dengan cukup lengkap, antara lain,
ialah Abdul Halim Abu Syuqqah. Dari pengkajiannya dilaporkan, wajibnya
pemakaian tabir pemisah itu khusus bagi istri Nabi. (KW3: 83-167)
Tercatat, ada lebih dari 300 hadits shahih Bukhari dan Muslim yang
menunjukkan terjadinya ikhtilat pada diri Rasulullah saw. dan para
shahabat “dalam berbagai bidang kehidupan”. (KW1: 15) Hampir tidak ada
satu pun lapangan kehidupan yang di dalamnya tidak terdapat perbauran
antarlawan-jenis. Abu Syuqqah belum mendapati satu nash pun yang
mengisyaratkan, meski sekadar isyarat, untuk menjauhi ikhtilat. Apakah
yang terlibat dalam ikhtilat itu hanya dari kalangan tua-jompo atau
dalam kondisi darurat saja? Tidak. Sebagian besar nash tersebut
bercerita tentang orang dewasa, sebagiannya remaja, dan terjadi
berdasarkan kemauan masing-masing. (KW2: 206-207) Jadi, menurut kajian
tersebut, perbauran antarlawan-jenis itu kebiasaan yang dijalankan oleh
Nabi saw. dan para shahabat.
Lantas, terlarangkah kontak fisik (bersentuhan kulit) di dalam
ikhtilat? Apakah “zinanya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang
bukan muhrim”? (PDKI: 38) Benarkah “sentuhan tangan haram hukumnya” dan
“Islam tidak membenarkan laki-laki dan perempuan bersentuhan kulit”?
(PIA: 50) Mari kita periksa.
Pertama, kutipan ‘Hadits Tabrani’ tadi perlu dikoreksi dulu. Di kitab
Majma’ az-Zawâid (4: 326) dan kitab Shahih al-Jami’ ash-Shaghir (hadits
no. 4921), kata yang digunakan adalah “yang tidak halal baginya”, bukan
“yang bukan muhrim”. Mengapa perlu dikoreksi? Karena “orang yang tidak
halal baginya” tidak selalu dapat ditakwilkan sebagai “orang yang bukan
muhrim”. Setelah koreksi ini, kita bisa memeriksanya dengan lebih
teliti.
Ternyata, kami dapati, hadits tersebut bersifat zhanni (meragukan),
baik dari segi tsubut (sumber) maupun dilalah (petunjuk). Hadits yang
bersanad hasan tersebut zhanni-tsubut karena “tidak terlalu dikenal
pada masa para Sahabat dan murid-murid mereka” (BMHN: 178). Selain itu,
yang lebih ‘meragukan’, hadits itu pun zhanni-dilalah karena
mencantumkan dua ungkapan yang bermakna ganda, yaitu ‘menyentuh’ dan
‘yang tidak halal baginya’.
Ungkapan ‘orang yang tidak halal baginya’ di sini bisa mengacu pada
‘setiap orang yang bukan muhrim’, tetapi bisa pula berarti ‘sebagian
nonmuhrim yang dalam keadaan tertentu tidak halal bersentuhan kulit
dengannya’. Sedangkan kata ‘menyentuh’, dalam banyak nash, merupakan
majâz (kiasan). Contohnya, menurut kesepakatan para mufassir dan ahli
fiqih, kata ‘menyentuh’ pada Surat al-Ahzaab [33] ayat 49 dan pada
Surat Ali ‘Imran [3] ayat 47 berarti “melakukan hubungan seksual”.
(BMHN: 178-179)
Untuk mengetahui maksud hadits yang ‘meragukan’ tersebut, kita harus
merujuk ke hadits-hadits lain yang qath’i (meyakinkan) mengenai kontak
fisik dalam ikhtilat. Adakah? Ya!
Di antaranya, dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Seorang perempuan
sahaya [nonmuhrim] dari sahaya-sahaya warga Madinah menggandeng tangan
Rasulullah saw. dan pergi bersama beliau ke tempat mana saja yang ia
[perempuan itu] kehendaki.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah) Hadits
shahih ini menggunakan kata-kata yang lugas, bermakna tunggal, sehingga
bersifat qath’i. Meyakinkannya hadits ini dari segi dilalah menjadi
tampak lebih jelas dengan adanya tambahan keterangan di dalam versi
Ahmad dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw. tidak berusaha melepaskan
tangan perempuan tersebut. (FBSSB13: 420, BMHN: 178-180) Contoh kontak
fisik lainnya, menurut hadits-hadits riwayat Bukhari dan Muslim, rambut
kepala Nabi saw. dan shahabat pernah disisir oleh lawan-jenis
nonmuhrim. (Lihat KW2: 113-120 dan MCMD: 12-14.) Ini semua menunjukkan,
kontak-kontak fisik tersebut tidak diharamkan!
Kemudian, lantaran antara hadits ‘meragukan’ yang mereka jadikan hujjah
dan hadits-hadits ‘meyakinkan’ yang baru saja kita kemukakan tampaknya
(sepintas lalu) berbeda, kita perlu menggabungkannya secara
proporsional, sehingga semuanya “dapat diamalkan” dan “saling
menyempurnakan” (BMHN: 118). Hasilnya, kita bisa menerima dua
kemungkinan maksud dari hadits Tabrani di atas. Pertama, kita
diharamkan bersenggama dengan setiap orang yang bukan suami/istri kita.
Kedua, kita dilarang bersentuhan-kulit dengan sebagian lawan-jenis
nonmuhrim dalam keadaan tertentu.
Salah satu contoh ‘keadaan tertentu’ itu terdapat dalam hadits shahih
riwayat Bukhari (dan Muslim serta Malik, Nasa’i, Ibnu Majah, dan
Ahmad), yang telah dinukil si pendakwa tadi. Ternyata, tangan Nabi saw.
tidak pernah bersentuhan dengan tangan nonmuhrim dalam bai’at walau
beliau mengalaminya dalam kesempatan lain. Abu Syuqqah menerangkan,
Rasulullah saw. tidak menyentuh tangan lawan-jenis di dalam bai’at itu
lantaran “tidak merasa aman dari fitnah”. Sedangkan dalam keadaan lain,
seperti sewaktu rambut kepala beliau disisir nonmuhrim, beliau “merasa
aman dari fitnah”. (KW2: 120-121)
Jadi, kalau Anda tidak merasa aman dari fitnah bila bersentuhan kulit
dengan lawan-jenis, silakanlah Anda berusaha menghindarinya. Namun,
janganlah Anda vonis haram berjabat-tangannya atau pun
bergandeng-tangannya pasangan-pasangan yang merasa aman dari fitnah!
Sekalipun begitu, kita sendiri jangan asal-asalan melakukan kontak
fisik dengan dalih ‘merasa aman dari fitnah’. Sungguh, perasaan kita
“akan diminta pertanggungjawaban” (al-Israa’ [17]: 36).
Jumat, 22 Oktober 2010
Percampur-bauran Itu Sunnah Rasul
06.12
kurniawan
0 komentar:
Posting Komentar